Ngga ada orang yang ingin jadi biasa-biasa saja.
Begitu juga saya.
Hidup normal dan berjalan mengikuti standar sangat ngga menarik di mata saya.
Makin absurd makin saya suka!
Tapi sepertinya kali ini saya kena batunya.
"Kelebihan" berbalik jadi beban yang berlebihan.
Saya semakin tenggelam dalam pusaran yang mematikan, antara yang nyata dan yang maya, bahkan diantara keduanya.
Ya, "indera perasa" saya memang agak sedikit berbeda dari kebanyakan manusia lainnya.
Saya bisa 'berjalan' diantara 'ada' dan 'tiada' tanpa harus meninggalkan ke-'manusia'-an saya.
Semakin bingung membacanya? Saya juga kikuk entah harus menjelaskan dari mana agar mudah dicerna.
Awalnya biasa saja. Seperti wajarnya anak umur 13-tahun lainnya.
Sekian belas tahun yang lalu cerita ini bermula.
Yang tidak lazim, saya bisa melihat yang tidak kasat mata, menembusi dimensi yang berbeda dan hampir setiap hari meregang nyawa hanya untuk terbangun dari tidur.
Jika banyak orang harus berebutan tiket pesawat untuk bisa merasakan sensasi terbang melintasi pegunungan atau lautan, saya hanya cukup memejamkan mata dan 'voila!' - terbang melayang pun sudah jadi hal yang biasa.
Raga boleh saja pulas terbaring di atas tempat tidur berukuran 120 x 80, disaat yang sama sukma bebas melenggang pergi.
Jika banyak yang penasaran akan masa depan, saya hanya cukup bermimpi dan rentetan kejadian yang akan terjadi bersegera melintas berganti-ganti.
Jika ingin tahu apa yang terjadi dengan mereka yang dekat di hati, cukup gunakan telepati dan tanpa perlu tergantung sinyal atau koneksi, jalinan komunikasi lancar terbagi.
Ah! Pasti saat ini sudah banyak dahi yang berlipat dan entah berapa banyak lagi mata yang terangkat tidak percaya.
Pasti saya akan dibilang 'ngelindur' jika bertutur tentang hal yang tak bisa dinalar oleh logika.
Entah harus bersyukur atau mengumpat kepada 'sang pemberi mandat'
Tapi yang jelas saya sekarang sedang merasakan hidup saya sedang di ambang sekarat.
Sudah tidak menyenangkan lagi rasanya harus terus-menerus melihat kelamnya hitam sementara dunia yang saya diami cerah berwarna.
Semakin hari semakin takut untuk sekedar memejamkan mata karena untuk kesekian kalinya sebelum orang-orang tercinta tiada, saya melihat mereka hadir melintasi mimpi. Dan dalam hitungan hari, saya harus menghadapi kenyataan bahwa mereka harus pergi tanpa akan pernah kembali.
Apa enaknya melihat manusia tanpa organ yang sempurna berserakan di sebuah bangsal rumah duka atau bertemu jiwa-jiwa terhilang di perbatasan yang inginkan jawaban atas sebuah kematian?
Entahlah.
Saya hanya ingin seperti orang-orang normal lainnya yang punya hak untuk tertidur pulas tanpa takut disambangi mimpi yang membuat bulu kuduk berdiri.