Setelah sekian lama absen menjentikkan jari bercerita dan meramu kata di halaman penuh makna (*tsah*) akibat menumpuknya jadwal kerja yang menggila, akhirnya sukses juga saya mendaratkan diri saya di lantai dua sebuah warnet di dekat kos tercinta.
Memang bukan tempat favorit buat nge-blogging sih secara saya harus beradu dengan rentetan suara yang memecah gendang telinga - ya pekikan kegirangan (malah kadang kemarahan) para gamer - juga backsound yang ngga kalah serunya dari playlist yang entah dari negara antah berantah mana referensinya.
Belum lagi sempat mencoba untuk sedikit menggeliatkan jemari di atas tuts yang menanti untuk 'disetubuhi', saya masih harus membagi otak saya dengan ribuan desibel suara yang menggelitik, memancing hasrat untuk melontarkan teriakan "BERISIK!"
Ya, bukan salah warnet-nya sih, salah saya juga kenapa memilih untuk menghabiskan sisa waktu saya disini.
Well anyway, setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, termasuk mencoba menyabarkan diri dengan tampilan layar yang bergoyang-goyang dan mouse yang kurang kooperatif, sukses juga saya menyelesaikan setidaknya paragraf awal dari cerita yang entah akan bermuara dimana.
Ini kali kedua, saya dan #dia duduk bersama (walaupun agak jauh letaknya) untuk sekedar berbagi bahagia atas hari yang baru dilalui berdua.Sudah hampir bulan kedua sejak awal bertegur sapa hingga akhirnya mengambil keputusan besar untuk saling mengisi halaman demi halaman buku kehidupan kami.
Buat saya, ini adalah salah satu dari sekian keputusan-keputusan terbaik yang saya ambil di tahun ini, mendekati penghujung tahun. Boleh jadi ini adalah titik balik untuk saya setelah berulang kali jungkir balik dan nyaris terdampar di titik nadir. Kehadiran #dia membuat saya lebih mensyukuri kesederhanaan dalam hidup yang istimewanya bisa terasa begitu 'mewah' ketika diujicoba. Sedikit banyak saya belajar untuk melerai benang-benang kusut yang belakangan rajin berlari-larian menyumbat aliran darah di kepala - dan memintalnya menjadi sebuah karya indah yang menyenangkan untuk dipandang mata.
Esensi hidup pada hakikatnya adalah membuat manusia berjalan selangkah lebih maju dari hari sebelumnya - karena tentunya hidup tidak berjalan mundur, bukan? Dengan #dia, kebiasaan lama saya yang sering membubuhkan tanda bold dan underline pada masa lalu yang bergelantungan menunggu ditengok berganti dengan kecintaan baru saya pada renda-renda yang mempermanis halaman buku yang kami tulisi bersama.
Belum lama ini saya begitu antipati dengan kata "berkeluarga". Bagi saya (tadinya) berkeluarga hanyalah sekedar simbol status bagi kebanyakan orang bahkan salah satu syarat agar tidak tercoret dari daftar ahli waris keluarga karena lalai memberikan keturunan yang diharapkan menjadi penerus nama besar leluhur. Keluarga hanyalah sebuah lembaga - bagian dari tradisi dan ketentuan agama. Itu saja. Namun jika sekarang saya kembali berbunga-bunga dengan ide untuk hidup bersama yang disahkan oleh lembaga negara juga agama, salahkan saja #dia. Dengan seluruh kesabaran yang dia punya, dia mampu meyakinkan saya bahwa sejatinya kami memang ditakdirkan untuk menua bersama. Bayangan nenek-kakek yang sudah renta dimakan usia namun tetap saling memendarkan cinta lewat tatapan mata kala saling duduk mesra di beranda dan membahas headline sebuah harian ternama membuat saya tersipu malu. Atau.....menghabiskan senja dengan berjalan di pematang sawah dan membiarkan kaki kami yang telanjang beradu dengan rerumputan membuat saya jatuh dalam haru. Saya sudah menemukan yang saya cari. Seseorang yang tidak hanya ada untuk berbagi di saat saya tegak berdiri tetapi juga rela merendahkan diri demi menangkap saya yang nyaris tanpa daya pasrah pada gravitasi.
Jika tiba saatnya nanti, seperti katanya yang sering ia bisikkan ditelinga bahwa "semua akan indah pada waktunya", maka saya akan tetap menunggu disini. Berkerudungkan satu harapan pasti bahwa apa yang kami miliki tidak akan pernah terbagi; sejak kini dan sampai pada akhirnya nanti.
"You've already won me over, in spite of me
and don't be alarmed if I fall, head over feet
don't be surprised if I love you for all that you are
I couldn't help it - It's all your fault"
-Alanis Morisette: Head Over Feet-
Memang bukan tempat favorit buat nge-blogging sih secara saya harus beradu dengan rentetan suara yang memecah gendang telinga - ya pekikan kegirangan (malah kadang kemarahan) para gamer - juga backsound yang ngga kalah serunya dari playlist yang entah dari negara antah berantah mana referensinya.
Belum lagi sempat mencoba untuk sedikit menggeliatkan jemari di atas tuts yang menanti untuk 'disetubuhi', saya masih harus membagi otak saya dengan ribuan desibel suara yang menggelitik, memancing hasrat untuk melontarkan teriakan "BERISIK!"
Ya, bukan salah warnet-nya sih, salah saya juga kenapa memilih untuk menghabiskan sisa waktu saya disini.
Well anyway, setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, termasuk mencoba menyabarkan diri dengan tampilan layar yang bergoyang-goyang dan mouse yang kurang kooperatif, sukses juga saya menyelesaikan setidaknya paragraf awal dari cerita yang entah akan bermuara dimana.
Ini kali kedua, saya dan #dia duduk bersama (walaupun agak jauh letaknya) untuk sekedar berbagi bahagia atas hari yang baru dilalui berdua.Sudah hampir bulan kedua sejak awal bertegur sapa hingga akhirnya mengambil keputusan besar untuk saling mengisi halaman demi halaman buku kehidupan kami.
Buat saya, ini adalah salah satu dari sekian keputusan-keputusan terbaik yang saya ambil di tahun ini, mendekati penghujung tahun. Boleh jadi ini adalah titik balik untuk saya setelah berulang kali jungkir balik dan nyaris terdampar di titik nadir. Kehadiran #dia membuat saya lebih mensyukuri kesederhanaan dalam hidup yang istimewanya bisa terasa begitu 'mewah' ketika diujicoba. Sedikit banyak saya belajar untuk melerai benang-benang kusut yang belakangan rajin berlari-larian menyumbat aliran darah di kepala - dan memintalnya menjadi sebuah karya indah yang menyenangkan untuk dipandang mata.
Esensi hidup pada hakikatnya adalah membuat manusia berjalan selangkah lebih maju dari hari sebelumnya - karena tentunya hidup tidak berjalan mundur, bukan? Dengan #dia, kebiasaan lama saya yang sering membubuhkan tanda bold dan underline pada masa lalu yang bergelantungan menunggu ditengok berganti dengan kecintaan baru saya pada renda-renda yang mempermanis halaman buku yang kami tulisi bersama.
Belum lama ini saya begitu antipati dengan kata "berkeluarga". Bagi saya (tadinya) berkeluarga hanyalah sekedar simbol status bagi kebanyakan orang bahkan salah satu syarat agar tidak tercoret dari daftar ahli waris keluarga karena lalai memberikan keturunan yang diharapkan menjadi penerus nama besar leluhur. Keluarga hanyalah sebuah lembaga - bagian dari tradisi dan ketentuan agama. Itu saja. Namun jika sekarang saya kembali berbunga-bunga dengan ide untuk hidup bersama yang disahkan oleh lembaga negara juga agama, salahkan saja #dia. Dengan seluruh kesabaran yang dia punya, dia mampu meyakinkan saya bahwa sejatinya kami memang ditakdirkan untuk menua bersama. Bayangan nenek-kakek yang sudah renta dimakan usia namun tetap saling memendarkan cinta lewat tatapan mata kala saling duduk mesra di beranda dan membahas headline sebuah harian ternama membuat saya tersipu malu. Atau.....menghabiskan senja dengan berjalan di pematang sawah dan membiarkan kaki kami yang telanjang beradu dengan rerumputan membuat saya jatuh dalam haru. Saya sudah menemukan yang saya cari. Seseorang yang tidak hanya ada untuk berbagi di saat saya tegak berdiri tetapi juga rela merendahkan diri demi menangkap saya yang nyaris tanpa daya pasrah pada gravitasi.
Jika tiba saatnya nanti, seperti katanya yang sering ia bisikkan ditelinga bahwa "semua akan indah pada waktunya", maka saya akan tetap menunggu disini. Berkerudungkan satu harapan pasti bahwa apa yang kami miliki tidak akan pernah terbagi; sejak kini dan sampai pada akhirnya nanti.
"You've already won me over, in spite of me
and don't be alarmed if I fall, head over feet
don't be surprised if I love you for all that you are
I couldn't help it - It's all your fault"
-Alanis Morisette: Head Over Feet-